Subscribe:
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Juni 2012

Menjelajah Rumput Hijau




Anggota ke 12 meneriakkan nama salah seorang lelaki yang sedang berlari di atas kawanan rumput. Melenggang bersama si bundar yang seakan melekat di kakinya. Melaju menuju persegi panjang yang dijaga seseorang bersarung tangan biru dan mereka dengan jersey berbeda. Jauh di sana ada seorang wanita setengah baya melihatnya dengan mata berkaca-kaca, tubuhnya pun merinding. Sang wanita pun mendesah, “anakku....”. Hanya lewat layar kaca.
Di lain batasan samudera, lelaki yang hampir tua memiliki rasa bangga kepadanya. Mungkin sedikit menyimpan rasa sesal. Tetapi sepertiga lingkaran di wajahnya sudah ada. Melihat Fahri dengan gagah menggiring bola. Dan… GOOOLLL !!!
***
Masih di sini, belum beranjak pergi dari sudut tribun. Bukan, bukan di tribun tetapi di atas tembok stadion. Tidak terlalu berbahaya bagiku. Hanya satu dalam benakku, melihat tim kesayanganku berlatih. Bagaimana teknik mereka ? Bagaimana strategi mereka berikutnya ? Entahlah, sesekali aku hanya memprediksinya.
Mataku terpejam. Terbuka. Terpejam lagi. Dan…. Tidak ! Tidak ! Tidak !!! Halusinasi itu lagi. Selalu menggelincir di pikiranku. Terkadang aku ingin mencoba melupakannya, tetapi hal itu terlalu kuat di benakku. Tak sedikit pun restu yang didapat dari orang tua.
Malam itu lagi. Bukan siang yang ada di sini. Padahal sudah jelas, matahari masih di tengah atau lebih jelasnya condong ke barat, sedikit. Aku tidak bisa melihatnya. Jelas saja karena ku tak membuka jendela. Di bui lagi, di penjara lagi. Seharusnya sebuah kebebasan itu nomor satu. Tetapi ? Sekarang tidak mengerti ada di klasmen nomor berapa. Sebenarnya paling sederhana cukup menggunakan mata, namun apa daya dengan kedua mata ini. Mataku normal, bisa melihat selembar kertas transparan, debu-debu yang berhamburan, bahkan lukisan hujan sebut saja pelangi.
Jemariku sulit dilipat. Kaku. Jiwaku satunya seperti ada di alam astral, melayang meninggalkan tubuh yang sepertinya semakin hampa. Obsesi, dari mimpi, tanpa dicari. Bukannya aku hilang minat atau tak mampu. Tetapi pandangilah sekitar sini… Hati yang mencari tanpa dipahami.
Ingin pergi dan meraih mimpi.
***
“Sudah, jangan banyak alasan !”
“Ayah, tapi ini mimpiku..”
“Lupakan mimpi burukmu itu !”
“Tidak !”
“Diam !”
Panas seketika pipiku. Sebuah tanda manis butrowali dari ayah. Redup. Selalu menjadi bahan pertanyaan di selasar hati. Sepertiga lingkarang itu tak Nampak lagi sejak aku memiliki obsesi itu. Ini gila, apa salahnya ?
Kebanyakan dari mereka akan bersenang-senang dengan mobil mewahnya. Tentu saja, dengan Audy atau Lamborghini nya. Rumah besar dan hidup terjamin. Peruntungan besar, bukan ?
Jangan memandang langkah jauh dulu. Tangan lembut ibu mungkin tak kan mau membelai pipiku lagi. Atau malah tangan ayah yang akan memberi cap merah lagi.
***
Sial ! Apa maksudnya ? Dia menggelapkan duniaku lagi. Dari redup yang nyaris terang. Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar. Hah.. bukankah pencari bakat datang dua bulan lagi ?
Dia menghancurkan mimpiku tanpa maaf, tanpa khilaf. Lapangan hijau menjadi saksi bisu. Terdiam tak mengerti apa yang akan ia katakan atas permainanku kemarin. Empat jempol untukku per kepala, kata teman-teman.
Hanya berbaring di sini. Sendiri tiada mp3, cukup detik jam yang tak selangkah dengan detak jantungku. Tik tik tik... Diam ! seakan aku ingin membanting jam itu. Naluri antara hati dan kaki yang tersakiti.
***
“Kakak ! Mau ke mana ?”
“Ssstt, diam !”
“Kok pake baju bola ? Kak !! Kakaaakk !!!!”
Brakkk !!! Aku menghempaskan pintu begitu saja. Melewatkan wajah adik manisku. Yang mungkin ingin sepertiku, suka bermain bola. Maafkan aku, adik kecilku...
Motor Honda CBR siap mendampingiku ke mana pun aku pergi. Kecuali ke hatimu. Tidak terlalu jauh, hanya tiga puluh menit saja perjalanan dari rumah. Sedikit debu yang mengganggu hidungku, tapi bukan masalah. Karena aku bilang mereka adalah spirit yang disampaikan dengan cara yang berbeda.
Rumput kecil nan berjuta jumlahnya menutupi tanah di sana. Ku jabat tangan mereka satu per satu yang akan menjadi rekanku sekaligus musuh bersama senyuman khas milikku.
Itu bapak pelatih ! Aku harap beliau akan membuatku tersenyum untuk hari ini dan seterusnya. Maklum, murid baru jadi belum tahu gaya bermain mereka. Aku harap sama dengan gayaku, kalau pun beda semoga mereka tertarik dengan gayaku.
Bola ini bundar, akan mengikutiku kemana saja bila aku menghendaki. Dengan kakiku ini, suatu saat akan seperti Robin van Persie. Mengkhayal sekarang, tersenyum di kemudian hari.
Semalam aku bisa tidur nyenyak. Sekarang TIDAK ! Muncul petaka di kaki ini. Kesialan yang nyata. Bukan mimpi di atas mimpi.
***
Transformasi tahun.
“Terima kasih ya Allah...”
Aku langsung bersujud ketika aku dipromosikan di tim senior. Ya ! Sejak dulu aku menginginkan ini. Berlaga dengan senior-seniorku dan menjadi kebanggaan sendiri di usia 18 tahun ini.
Air mata ini menetes. Meski tak deras, tetapi ini sangat terasa di hati. Aku seorang pemain sepak bola sekarang ! Bukan makhluk hidup yang hanya bermimpi saja. Memikirkan bila suatu saat nanti..... Ah entahlah. Yang penting sekarang aku bisa menjelajah rumput hijau sebagai manusia penuh arti.
“Ibu...”
“Ada apa, anakku ? Mendekatlah.”
Ku peluk tubuh ibu, aku terharu. Apakah berbeda bila di mata ayah ? Beliau belum pulang, masih kurang lebih satu setengah bulan lagi.
Terima saja apa yang akan beliau lontarkan padaku. Antara bangga atau benci.

Minggu, 01 April 2012

Keluarga Tak Berencana



Di sebuah kota kecil yang penuh pegunungan, hidup sepasang suami istri.  Usia mereka sudah tidak muda lagi. Sebut saja tua. Tetapi mereka tetap berbahagia tinggal di rumah sederhana mereka. Rumah bercat kuning dengan tiga tingkat serta seluas 700 m². Maklum, anak mereka sudah menikah dan tinggal bersama suaminya.
Setiap pagi Nenek Aulia selalu membuatkan secangkir teh hijau untuk Kakek Rozzaaq. Alasannya agar kakek Rozzaaq terlihat lebih muda dari usianya saat ini. Tetapi tidak untuk pagi ini. Nenek Aulia menangis sejadi-jadinya. Memandang tubuh Kakek Rozzaaq yang tergeletak di lantai. Tak ada satu goresan pun, namun tak cukup menenangkan hati nenek Aulia. Ketika mengetahui bahwa jantung suami tercintanya itu tak berdetak lagi.
Air matanya terjun ke pipinya, hingga membasahi tongkat yang terbujur kaku di samping Kakek Rozzaaq. Tongkat itu menjadi saksi bisu atas kematian misterius Kakek Rozzaaq. Pergi ke suatu alam yang kelak semua manusia akan ke sana. Nenek Aulia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan menikah lagi. Ia berniat akan menjaga kesucian cinta mereka. Karena selama bersama Kakek Rozzaaq, Nenek Aulia tak pernah merasa tersakiti.
Berbeda dengan Ardhi. Ia tertawa akan semua itu. Yang Ardhi pikirkan hanyalah warisan, warisan, dan warisan. Ardhi sudah memprediksi sebelumnya, bahwa perusahaan Rozzaaq tidak akan jatuh ke tangan Nenek Aulia, karena sudah terlalu tua untuk menjadi pengelola utama perusahaan. Tidak mungkin pula pada Dedytha,

Ketika Di Gotham City



Satu tahun lamanya tak bertemu kekasih hati. Terpisah ratusan kilometer, desis jam pasir, dan sekat-sekat alami maupun buatan. Ini gila, kontak lewat handphone saja jarang karena Batman terlalu sibuk dengan urusan bisnis dan misi penyelamatan kabupaten. Terakhir Batman online facebook maupun twitter itu dua bulan lalu. Padahal Inamora sering menulis di wall facebooknya “Hai sayang” tetapi tetap saja nihil jawaban.
BAni TarjiMAN, itu nama asli Batman. Tarjiman mengganti namanya menjadi Batman hanya ketika ia berubah menjadi superhero berjubah hitam, bertopeng sebatas bawah hidung, berlogo kelelawar. Tetapi ketika Tarjiman menjadi Tarjiman yang asli, ia adalah seorang pengusaha kaya raya, sangat kaya. Cabang-cabang perusahaannya ada di seluruh perjuru negeri, Tarjiman juga bermain saham dibeberapa hotel bintang tujuh. Tidak hanya itu, kekayaannya bisa dipakai 27 turunan !
Tetapi, memiliki kekasih seperti Batman membuat Inamora galau dan risau. Pasalnya, si Batman agak playboy. Dan itu membuat Inamora kadang nggak nggak nggak kuat, nggak nggak nggak kuat. Jelas saja, ia pernah memergoki Batman dinner berduaan bersama Shannon di sebuah hik. Sakiiiitt rasanya. Shannon merupakan mantan pacar Batman yang katanya jalinan cinta mereka cukup lama. Bukan itu saja ‘maru’ Inamora, masih banyak lagi. Seperti Dewi Kunthi si jagoan pewayangan, hingga si cantik Elina dari negeri Fairytophia.
Setiap kali Inamora menegur Batman selingkuh, pasti muncul jawaban :
“Aku bukan seniman hati
Aku bukan seutas nadi
Maka maafkanlah kesalahanku
Yang mungkin

Minggu, 18 Maret 2012

El Amor Clasico



“Alejandro...
¿Dónde estas tu ?”
Gambar amplop dan tanda panah ke kanan segera menghilang dari layar i-phone Helga. Hujan semakin merapat. Samar-samar apa yang Helga lihat. Kaktus tajam di teras mungkin akan memuntahkan air apabila ia meminum seper berapa ribu air hujan.
Alejandro, pekat di hati Helga. Sekarang panas tanpa sebab sengatan matahari sang pusat tata surya. Tetapi karena Alejandro, matahari di hatinya yang mulai melangkah ke barat. Tabu akan kata yang ia ucapkan dulu.
10 x 24 jam gambar amplop di i-phone Helga tidak muncul dari seberang terlebih dahulu.
***
Real Madrid versus Barcelona di Santiago Bernabeu. Stadion termegah sepanjang masa yang dimiliki Real Madrid penuh bagai lautan manusia. Gemerlap lampu di rumah Los Blancos memberi pencerahan ke setiap sudut.
Para punggawa berjalan dengan tegap menyusuri pertengahan si hijau. Disusul dengan tamunya merah biru dari Catalunya. Applause untuk mereka,bukan hanya applause tetapi suara drum yang sengaja di ajak untuk dibunyikan di situ. Bising untuk semangat. Real Madrid telah siap menerkam rival abadinya bermodalkan intelektual dan para galactico.
Tidak dirubah dari hari biasanya, di depan layar televisi bersama bayangan. I-phone putih bernyanyi ditambah frekuensi kecil getaran. Sebuah pesan sangat singkat hadir. Menyapa saja, ‘hai’. Dua belas angka yang berderet tanpa keterangan sang tuan. Helga menekan i-phone-nya sesuai kata-kata yang ia inginkan untuk membalas budi atas sebuah sapaan. Tanpa basa-basi, tombol hijau ia klik. Pergi sudah pesannya. Menyeberangi satelit, meluncur dengan energi sinyal, atau bertabrakan beradu kekuatan dengan amplop imjinasi lain.
“Siapa ?”
“Alejandro. Madridista, what do you think about this match ?”
“So wonderful, I feel El Real will  be the winner.”
“Hahaa, maybe yes maybe no. But Barcelona will destroy Santiago Bernabeu.”
“Impossible.”
Malam yang nyaris menjelajahi penghujung hari. Jangkrik bernyanyi, melantunkan nada-nada khas yang hanya sejumput manusia yang bisa menirukannya. Dari dua sudut pandang. Di mata Helga dan Alejandro. Dalam cuaca yang relatif sama dan iklim yang pasti sama. Udara dingin lewat di balik dinding bata tebal yang dilapisi semen juga ditegakkan besi kekar.
*
Rabu. Apakah itu hari keserasian ?
Tisu putih tanpa kuman, tergeletak di atas meja Helga. Meja coklat kayu tak berukir yang tepat berhadapan dengan meja guru, menjadi sandaran alat tulis dan tangannya ketika ia hendak belajar. Hitamkan sedikit bagian tisu itu. Tentu saja dengan makna tertentu. Bukan hanya goresan seperti yang diciptakan bayi ketika mencoret-coret tembok. H-ELGA.
“Helga ! Habis outbond pikirannya pada rancau”, menyeret tisu kubertuliskan H-ELGA

Kamis, 01 Maret 2012

DI BALIK JARING RAKETMU


            “Tan, jangan lupa besok seleksi dance di V B.”
“Oke. Bukannya semua grup dance tampil ?”
“Kalo pesertanya dikit ya tampil semua.”
“O. Jam berapa ?”
“Belum pasti waktunya, besok menyesuaikan aja. Paling sekitar jam 8.”
“Hmm, thanx ya.”
Di bawah kejamnya mentari yang kontroversial karena pigmen, Titi melayangkan kabar seleksi dance untuk acara perpisahan kelas VI. Aku diberi tahu kabar itu ketika melintasi pertengahan diagonal tak simetris lapangan upacara sekolah. Mungkin pada titik koordrinat (2,-1). Akan relatif lebih jauh apabila melintasi pinggiran lapangan upacara. Sederhana saja, seperti rumus matematika phytagoras c = , sisi miring lebih mempersingkat waktu daripada jalan L. Aneh, mengapa ia tak memberi informasi di kelas saja. Faktanya Titi satu kelas denganku, IV B. Mungkin daya ingat di dalam kelas dan di luar kelas berbeda.
*
            Dalam eksentrika alunan musik hip hop aku, Rani, Rinda, Fira, Gita, dan Putri akan berlatih keras untuk kelancaran besok. Mengulangi langgak-lenggok tubuh kami kemarin. Cukup menyenangkan suasana teras rumah Putri yang seperti surga fauna kecil di antara flora hijau. Sesekali kami duduk berbincang secara lesehan di lantai putih memiliki efek seperti petir sambil menyeruput limun cocopandan merah dingin yang memberi kesejukan tenggorokan. Ini bulan Juni, tentu saja kami berani minum limun dingin, karena tak sedikitpun air hujan menetes di musim kemarau.
            Masih tentang dance, lompat sana lompat sini. Tangan harus begini atau begitu. Namanya juga dance, ekspresi dan kreasi sangat penting. Setelah itu tinggal menunggu hasilnya yang berupa apresiasi dari beberapa pihak. Tepuk tangan menjadi hadiah paling sederhana pada sebuah pementasan.
*
Aku duduk di bangku bersama teman satu grup dance. Berebut oksigen, mungkin secara ilmiah seperti itu. Suasana begitu penuh sesak oleh 60an pasang mata, yang sejatinya ruangan itu hanya berkapasitas 40 orang. Tapi tak seorang pun mengeluh, enjoy dengan suasana sekarang dengan hiburan dance, menyanyi, dan sebagainya.
Sebagian anak laki-laki di belakang menaikkan kursi di atas meja agar dapat melihat jelas seleksi untuk perpisahan. Aneh-aneh saja tingkah mereka. Tiga orang itu adik kelasku

Sabtu, 04 Februari 2012

Warisan Sang Kapten

by : Dedytha

“Omega, minggu depan ada  pertandingan, kamu mau ikut nggak ?”
“Di mana ?”
“SMA tetangga.”
“O, ya oke lah.”
“Ya, kamu sama Syerri, ajak temenmu yang lain juga. Soalnya yang putri kekurangan personal. Sekarang kumpul di XI IPA 8, pembagian jersey”.
“Siap, Karim.” J
“Gila ya, kita kan jarang banget masuk ekstra, masa tau-tau langsung ikut pertandingan !?, sahut Syerri setengah shock.
“Gak pa pa, buat pengalaman”.
“Tapi...”
“Udah, ayo ke IPA 8 !”
Aku bersama sahabatku merjalan menuju kelas yang dikatakan Karim. Melewati plaza sekolah yang sebagian wilayahnya sebagai tempat parkir siswa-siswi yang membawa motor atau sepeda ontel. Sebelumnya ku ketuk pintu agar lebih sopan memasuki kelas itu. Aku menebar senyuman pada semua yang ada di dalam ruangan. Aku senang karena mereka menyambutku dan Syerri begitu ramah. Mataku menelusuri setiap koordinat di ruang itu. Tapi tak ku dapati si toboy, Anne.
Tak sampai jarum jam panjang memutar separuh, anak-anak basket putra memasuki ruang yang cukup nyaman ini. Karim yang bertubuh tinggi besar dan berkulit eksotik melangkah menemui meja guru. Ia membawa sesuatu yang dibungkus tas kresek hitam besar. Karim mulai membuka ikatannya. Dan kami berlari. Berhamburan bak lalat yang mencintai mangga segar. Kami telah menunggunya, untuk mendapatkan nomor yang harus kami miliki. Meja guru begitu berantakan, beruntung sekali tak ada vas bunga

Selasa, 31 Januari 2012

SATU NAMA

by : Dedytha

        Musim ber-Mxit ria melanda dunia anak-anak muda. Termasuk aku yang terbawa arus media chatting tersebut. Banyak orang-orang misterius yang sulit kubayangkan wujudnya. Berteman dunia maya dengan cara memaksa jari menari-nari di atas keypad handphone. Sungguh mengasyikkan dan memainkan imajinasi. Bahkan sampai lupa akan aktivitas wajib.
Ketika jari-jariku sedang menari dengan lincah untuk menjawab teman-teman, hingga suatu saat ada pesan yang beratas nama Endra, teman sekelas saat kelas 3 SMP. Kubaca deretan huruf yang terbaring di layar handphone. Ternyata bukan dari teman sekelasku, melainkan dari lelaki asing yang bernama Dedy, ia sahabat sekaligus tetangga Endra. Ini menjadi hari pertama aku berkenalan dengannya. Pertukaran nomor handphone dan menanyakan tempat tinggal menjadi topik perbincangan terhangat di antara kami.
Pikiranku melayang memperkirakan bagaimana wujud asli Dedy. Otakku megatakan rambutnya jabrik, kulitnya coklat, dan berbadan besar. Hanya sekadar prediksi semata. Jarum jam yang seperti berlari pun menunjukkan waktu semakin berlalu. Namun tak kuhiraukan itu. Tak bisa dipungkiri kalau rasa penasaranku menyihir isi otakku pada Dedy, Dedy, dan Dedy. Bagai sebuah obsesi.
***
            Di penghujung bulan ramadhan, Dedy memutuskan untuk mengunjungi rumahku. Jauh prediksiku, meleset tak tentu. Wujudnya sangat berbeda dari bayanganku. Kulitnya putih, wajahnya cerah, tubuhnya cukup mungil untuk ukuran lelaki, dan senyumnya sungguh menawan. Lelaki yang namanya hampir sama dengan nama depanku itu menjabat tanganku untuk pertama kalinya. Tak butuh waktu lama untuk proses mendinginnya telapak tanganku bagai gurun es. Semua karena jantung yang berdetak lebih kencang dan aliran darah seperti mendapat tekanan. Matanya yang tajam memaksaku tak mampu menatapnya lebih lama lagi.

Minggu, 21 Agustus 2011

Jelmaan Setetes Air



Oleh : Dedytha Nur Annisa

Setetes dua tetes membelah bumi
Merasuki tanah
Terseret lari angin
Tebar aroma khas
Penyejuk sukma
Pembasuh raga
Kini setetes dua tetes air menjelma
Lautan coklat diatas pemukiman
Larikan apa yang ada
Bawa pulang sukma
Ke alam berseberangan
Bawa pergi jasad
Ke rumah berlapis tanah
Yang indah kemarin
Beri sakit hati ini
Yang sejuk kemarin
Beri mati hari ini

Apakah ini hanya cobaan ?
Atau siksaan karna ulah sendiri ?
Siapa tahu jawabnya ?

Sabtu, 20 Agustus 2011

Hanya Sebuah Slogan



Oleh : Dedytha Nur Annisa

Hijau alamku
Lestari bumiku
Sadarlah...
Itu telah rapuh
Menjadi sajak-sajak keruh
Dulu mereka di sini
Sekarang terpenggal
Oleh otoritas
Yang pentingkan suksesnya sendiri
Nasib tubuh-tubuh malang
Diabaikan walau badai menerjang
Bagaimana kita bisa berkata
Hijau alamku
Kalau yang hijau telah terbunuh
Tercabik kejamnya dunia
Tergores luka tak semu
Bagaimana kita bisa bersorak
Lestari bumiku
Kalau yang punya menganiaya
Hapus keasrian

Kini tinggal sebuah slogan
Yang sulit di tentang
Karna sastra

Rintihan Sebatang Pohon



Oleh : Dedytha Nur Annisa

Lihatlah sekujur tubuhku
Para serdadu hijau mati satu persatu
Menjadi mayat coklat nan kering
Hanya bersama tangan-tangan kurus aku hidup
Senantiasa temani tubuh tertua
Kulitku tersayat oleh terik
Perih
Sedih
Ketika tangis pantomim mendera
Tak ada manusia yang sedu sedan
Bahkan semut-semut kecil menutup telinganya
Peluhku tanpa daya
Ragaku miris tak bergaya

Tawa riang anak-anak kecil
Kini hilang secepat tiup angin
Mereka yang biasa bersandar di kakiku
Kini lari entah kemana
Mungkin ke rumah teduh
Tinggalkanku yang lumpuh
Hanya diam dan bersimpuh

Pada siapa aku mengadu ?

Kamis, 04 Agustus 2011

Aroma Hijau


Lapisan biru selimuti bumi
Aroma hijau membelai kami
Lima atmosfer melayang
Mega putih berbayang

Makhluk bumi bersemayam
Penuhi luas alam
Di sudut malam
Kumelangkah dengan jejak kelam
Jari-jari kusam
Yang sulit kugenggam
Segala nikmat terpendam
Bersatu dalam melodi legam

Bisik ombak mengadu manja
Pada insan terjaga
Angin bersenandung
Pada jiwa yang mendung

Remidi Kimia

Di antara Dewi dan Yudha
Terselip Dedytha
Tak tahu jawabnya
Hingga ku tanya Firda
Otak semakin berat dan berat
Apa itu karbonat ?
Kudengar jawaban gendeng
"Mboh, aku ora mudeng"


Kupandang sosok manusia
Beliau Bu Mega
Sang Guru Kimia
Tepat didepan mata
Patut waspada


Jantungku terpacu
Pada soal B satu
Oh Tuhanku
Tolonglah hamba-Mu


UNTITTLED

Kalau kita benar terpisah
Izinkan kutulis puisi terindah
Tentang hati gelisah
Tentang pikir yang gundah


Aromatik wangi tubuhmu
Menerjang pusat syaraf
Nyentrik hitam kulitmu
Mantap dilihat tanpa khilaf
Eksentrik lesung pipimu
Dipandang tiada insyaf
Eksotik wujud bodymu
Selalu ada hingga enough


Ini hanya kombinasi
Antara kertas dan tinta
Demi sebuah ekspresi
Kagumku padamu semata

Senin, 20 Desember 2010







 Kasta maen kartu versi xer10sa :
pemula -> warga biasa -> penengah -> master -> dewa
 a. pemula : orang yang baru saja join
 b. warga biasa : udah sering maen tapi nggak menang-menang
 c. penengah : keahliannya tengah-tengah
 d. master : mengocok kartu 3-4 x
 e. dewa : kasta tertinggi dalam permainan ini, mengocok kartu 0-2 x