Subscribe:

Sabtu, 09 Juni 2012

Menjelajah Rumput Hijau




Anggota ke 12 meneriakkan nama salah seorang lelaki yang sedang berlari di atas kawanan rumput. Melenggang bersama si bundar yang seakan melekat di kakinya. Melaju menuju persegi panjang yang dijaga seseorang bersarung tangan biru dan mereka dengan jersey berbeda. Jauh di sana ada seorang wanita setengah baya melihatnya dengan mata berkaca-kaca, tubuhnya pun merinding. Sang wanita pun mendesah, “anakku....”. Hanya lewat layar kaca.
Di lain batasan samudera, lelaki yang hampir tua memiliki rasa bangga kepadanya. Mungkin sedikit menyimpan rasa sesal. Tetapi sepertiga lingkaran di wajahnya sudah ada. Melihat Fahri dengan gagah menggiring bola. Dan… GOOOLLL !!!
***
Masih di sini, belum beranjak pergi dari sudut tribun. Bukan, bukan di tribun tetapi di atas tembok stadion. Tidak terlalu berbahaya bagiku. Hanya satu dalam benakku, melihat tim kesayanganku berlatih. Bagaimana teknik mereka ? Bagaimana strategi mereka berikutnya ? Entahlah, sesekali aku hanya memprediksinya.
Mataku terpejam. Terbuka. Terpejam lagi. Dan…. Tidak ! Tidak ! Tidak !!! Halusinasi itu lagi. Selalu menggelincir di pikiranku. Terkadang aku ingin mencoba melupakannya, tetapi hal itu terlalu kuat di benakku. Tak sedikit pun restu yang didapat dari orang tua.
Malam itu lagi. Bukan siang yang ada di sini. Padahal sudah jelas, matahari masih di tengah atau lebih jelasnya condong ke barat, sedikit. Aku tidak bisa melihatnya. Jelas saja karena ku tak membuka jendela. Di bui lagi, di penjara lagi. Seharusnya sebuah kebebasan itu nomor satu. Tetapi ? Sekarang tidak mengerti ada di klasmen nomor berapa. Sebenarnya paling sederhana cukup menggunakan mata, namun apa daya dengan kedua mata ini. Mataku normal, bisa melihat selembar kertas transparan, debu-debu yang berhamburan, bahkan lukisan hujan sebut saja pelangi.
Jemariku sulit dilipat. Kaku. Jiwaku satunya seperti ada di alam astral, melayang meninggalkan tubuh yang sepertinya semakin hampa. Obsesi, dari mimpi, tanpa dicari. Bukannya aku hilang minat atau tak mampu. Tetapi pandangilah sekitar sini… Hati yang mencari tanpa dipahami.
Ingin pergi dan meraih mimpi.
***
“Sudah, jangan banyak alasan !”
“Ayah, tapi ini mimpiku..”
“Lupakan mimpi burukmu itu !”
“Tidak !”
“Diam !”
Panas seketika pipiku. Sebuah tanda manis butrowali dari ayah. Redup. Selalu menjadi bahan pertanyaan di selasar hati. Sepertiga lingkarang itu tak Nampak lagi sejak aku memiliki obsesi itu. Ini gila, apa salahnya ?
Kebanyakan dari mereka akan bersenang-senang dengan mobil mewahnya. Tentu saja, dengan Audy atau Lamborghini nya. Rumah besar dan hidup terjamin. Peruntungan besar, bukan ?
Jangan memandang langkah jauh dulu. Tangan lembut ibu mungkin tak kan mau membelai pipiku lagi. Atau malah tangan ayah yang akan memberi cap merah lagi.
***
Sial ! Apa maksudnya ? Dia menggelapkan duniaku lagi. Dari redup yang nyaris terang. Tiga bulan itu bukan waktu yang sebentar. Hah.. bukankah pencari bakat datang dua bulan lagi ?
Dia menghancurkan mimpiku tanpa maaf, tanpa khilaf. Lapangan hijau menjadi saksi bisu. Terdiam tak mengerti apa yang akan ia katakan atas permainanku kemarin. Empat jempol untukku per kepala, kata teman-teman.
Hanya berbaring di sini. Sendiri tiada mp3, cukup detik jam yang tak selangkah dengan detak jantungku. Tik tik tik... Diam ! seakan aku ingin membanting jam itu. Naluri antara hati dan kaki yang tersakiti.
***
“Kakak ! Mau ke mana ?”
“Ssstt, diam !”
“Kok pake baju bola ? Kak !! Kakaaakk !!!!”
Brakkk !!! Aku menghempaskan pintu begitu saja. Melewatkan wajah adik manisku. Yang mungkin ingin sepertiku, suka bermain bola. Maafkan aku, adik kecilku...
Motor Honda CBR siap mendampingiku ke mana pun aku pergi. Kecuali ke hatimu. Tidak terlalu jauh, hanya tiga puluh menit saja perjalanan dari rumah. Sedikit debu yang mengganggu hidungku, tapi bukan masalah. Karena aku bilang mereka adalah spirit yang disampaikan dengan cara yang berbeda.
Rumput kecil nan berjuta jumlahnya menutupi tanah di sana. Ku jabat tangan mereka satu per satu yang akan menjadi rekanku sekaligus musuh bersama senyuman khas milikku.
Itu bapak pelatih ! Aku harap beliau akan membuatku tersenyum untuk hari ini dan seterusnya. Maklum, murid baru jadi belum tahu gaya bermain mereka. Aku harap sama dengan gayaku, kalau pun beda semoga mereka tertarik dengan gayaku.
Bola ini bundar, akan mengikutiku kemana saja bila aku menghendaki. Dengan kakiku ini, suatu saat akan seperti Robin van Persie. Mengkhayal sekarang, tersenyum di kemudian hari.
Semalam aku bisa tidur nyenyak. Sekarang TIDAK ! Muncul petaka di kaki ini. Kesialan yang nyata. Bukan mimpi di atas mimpi.
***
Transformasi tahun.
“Terima kasih ya Allah...”
Aku langsung bersujud ketika aku dipromosikan di tim senior. Ya ! Sejak dulu aku menginginkan ini. Berlaga dengan senior-seniorku dan menjadi kebanggaan sendiri di usia 18 tahun ini.
Air mata ini menetes. Meski tak deras, tetapi ini sangat terasa di hati. Aku seorang pemain sepak bola sekarang ! Bukan makhluk hidup yang hanya bermimpi saja. Memikirkan bila suatu saat nanti..... Ah entahlah. Yang penting sekarang aku bisa menjelajah rumput hijau sebagai manusia penuh arti.
“Ibu...”
“Ada apa, anakku ? Mendekatlah.”
Ku peluk tubuh ibu, aku terharu. Apakah berbeda bila di mata ayah ? Beliau belum pulang, masih kurang lebih satu setengah bulan lagi.
Terima saja apa yang akan beliau lontarkan padaku. Antara bangga atau benci.

0 komentar:

Posting Komentar