Subscribe:

Selasa, 31 Januari 2012

SATU NAMA

by : Dedytha

        Musim ber-Mxit ria melanda dunia anak-anak muda. Termasuk aku yang terbawa arus media chatting tersebut. Banyak orang-orang misterius yang sulit kubayangkan wujudnya. Berteman dunia maya dengan cara memaksa jari menari-nari di atas keypad handphone. Sungguh mengasyikkan dan memainkan imajinasi. Bahkan sampai lupa akan aktivitas wajib.
Ketika jari-jariku sedang menari dengan lincah untuk menjawab teman-teman, hingga suatu saat ada pesan yang beratas nama Endra, teman sekelas saat kelas 3 SMP. Kubaca deretan huruf yang terbaring di layar handphone. Ternyata bukan dari teman sekelasku, melainkan dari lelaki asing yang bernama Dedy, ia sahabat sekaligus tetangga Endra. Ini menjadi hari pertama aku berkenalan dengannya. Pertukaran nomor handphone dan menanyakan tempat tinggal menjadi topik perbincangan terhangat di antara kami.
Pikiranku melayang memperkirakan bagaimana wujud asli Dedy. Otakku megatakan rambutnya jabrik, kulitnya coklat, dan berbadan besar. Hanya sekadar prediksi semata. Jarum jam yang seperti berlari pun menunjukkan waktu semakin berlalu. Namun tak kuhiraukan itu. Tak bisa dipungkiri kalau rasa penasaranku menyihir isi otakku pada Dedy, Dedy, dan Dedy. Bagai sebuah obsesi.
***
            Di penghujung bulan ramadhan, Dedy memutuskan untuk mengunjungi rumahku. Jauh prediksiku, meleset tak tentu. Wujudnya sangat berbeda dari bayanganku. Kulitnya putih, wajahnya cerah, tubuhnya cukup mungil untuk ukuran lelaki, dan senyumnya sungguh menawan. Lelaki yang namanya hampir sama dengan nama depanku itu menjabat tanganku untuk pertama kalinya. Tak butuh waktu lama untuk proses mendinginnya telapak tanganku bagai gurun es. Semua karena jantung yang berdetak lebih kencang dan aliran darah seperti mendapat tekanan. Matanya yang tajam memaksaku tak mampu menatapnya lebih lama lagi.
            “Dedy, ya ?”
            “Iya. Kowe ra metu malem takbiran ngene iki?”
            “Ora, ded, aku ra biasa metu wengi”.
            “O”.
            Kupersilahkan Dedy untuk duduk di teras rumahku. Jalan yang ramai semakin mewarnai pandangan kami. Angin yang semilir berhembus ketubuh dan merasuki pori-pori laksana hanya seekor laron lewat dan berlalu. Kuhidangkan sirup leci dingin dan makanan ringan sebagai formalitas. Dialog dari kalimat perkalimat sudah menghabiskan banyak lembar apabila ditulis di atas kertas. Hitamnya malam semakin pekat. Demikian pula dengan suara takbir demi menyambut Idul Fitri semakin keras ke pelosok telinga.

            Jam digital di handphone biruku telah memberi tahu bahwa sudah jam 09.47 pm. Dedy harus segera kembali ke rumahnya. Lagi, yang kedua kalinya kujabat tangannya sebagai tanda berpamitan.
***
            Beberapa minggu telah berlalu. Dalam kurun waktu itu, Dedy rajin mengunjungi rumahku. Mulai tumbuh sebuah rasa yang ganjil. Mungkin ada sebuah chemistry yang sulit dihindari. Ya, aku suka dia.
            Siang bolong meranggas kulit. Tatapan sengit sang surya menguras keringat agar menuju ke pakaian. Handphoneku bordering nyaring. Rupanya Dedy yang meneleponku. Kutekan tombol yang terletak di nomor dua dari atas pada sisi kanan untuk mengangkatnya. Sesuatu yang tak terduga muncul seketika.
            “Met siang, Dyt ?”
            “Siang. Ada apa ?”
            “Menurut kamu, aku tuh gimana ?”
            “Baik, lincah, tapi kadang galak. Emanx knapa ?”
            “Ra po po. Apa kamu butuh seseorang buat teman di hati ?”
            “Lha ngapa kok takok kaya ngono ?”
“Sopo ngerti nek kowe butuh, aku gur takok. Asline aku yo ada rasa karo kowe. Lha kowe gelem ra ?”.
            “Hmmp, lha aku pengen jomblo i”.
            “O, yo wis nek ngono”.
            Dingin telapak tangan dan kakiku ketika mendengar pernyataannya itu. Kelu lidahku, lemas tubuhku. Seketika terjadi setelah kumenolaknya. Aku berpikir terlalu cepat untuk berpacaran dengan seseorang yang baru tiga minggu kukenal. Rasa gengsi merusak isi hati. Padahal kalau dipikir-pikir secara akal sehat, waktu tiga minggu sudah cukup lama untuk sesuatu yang disebut dengan PDKT.
            Penyesalan. Satu kata yang paling tepat untuk melukiskan hatiku. Suatu rasa yang harus kupendam dalam-dalam. Mungkin Dedy tak akan mengulang pernyataannya lagi. Andai aku punya kesempatan kedua.
            Namanya menjadi bayang-bayang semu yang kokoh meski diterjang tornado.  Tanpa kata, pandangan, dan kesatuan. Perih.
***
            Tahun 2010 hadir tanpa satu kabar pun dari Dedy. Kucoba mengirim SMS dan kutelepon ke nomornya, tidak aktif. Apa daya, rasa rindu yang mendalam memerintahkan meneteskan air mata dalam hati.

            Aku bertemu beberapa orang yang bernama Dedy, disepanjang tahun ini. Biasa saja, tidak spesial seperti Dedy yang itu.
            Ada permintaan teman di facebookku. Kuconfirm semua, salah satunya dari Dedy. Aku tersenyum, rupanya ia masih mengingatku. Namun, jarang sekali ia online di jaringan sosial tersebut, seakan sama saja, yang sulit kucari bagaimana keadaannya sekarang. Hanya lewat foto facebook bisa kupandangi wajah imutnya.
            Pergantian waktu memang secepat guntur yang hadir saat hujan deras mengguyur  bumi. Kulihat info dalam profil facebooknya, tercantum hubungan ‘berpacaran’. Aku seperti karang yang diterpa badai. Terlampau sakit kurasakan mengetahui cinta Dedy sudah dimiliki wanita lain. Emosi. Tapi perlahan kumencerna suatu makna kehidupan hingga akhirnya berniat untuk melupakan Dedy dan membiarkannya bahagia bersama seseorang yang memberinya cinta dengan tulus.
            Cintanya untukku telah menghilang tinggal kenangan akibat kesalahanku.
***
            Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Tiba awal 2011, tepatnya 2 Januari pagi hari. Handphoneku berdendang merdu lagu Now Your Gone dari Basshunter versi Alvin and the Chipmunks mengiringi hadirnya sebuah pesan masuk.
            Dedy ! Kuterima pesan darinya. Sangat tak terduga, ia mengungkapkan itu lagi.
            “Ini Dedy. Masih inget aku ?”
            “Dedy !!! Masih lah, aku nggak pernah lupa ma qmu”, terharu.
            “Dyt, kamu mau jadi pacarku nggak ?”
            “Nggak, ded”.
“Lagi pengen jomblo, maaf. Sejak aku kenal kamu sampai sekarang, aku blom pernah pacaran”.
“Tapi kan aku pengen banget jadi cowokmu, kita pacarannya nyantai aja”.
“Dedy, maaf aku nggak bisa. Tolong mengertilah, aku juga ngerti perasaanmu”.
“Aku suka banget ma kamu, Dyt”.
“Kamu muncul tiba-tiba dengan kata cinta, sedangkan di hatiku udah gak ada rasa buat kamu”.
“Ya udah kalo gitu, aku nggak maksa”.
“Sorry L”.
Sangat tidak ikhlas aku menolaknya. Masih terngiang semua kata-kata dalam pesan singkat tadi. Hampa. Dua kali ia mengatakan cinta, dua kali aku menolaknya. Sekian lama aku mengharap kabar dari Dedy, namun ketika ia muncul dengan cintanya lagi, aku menyia-nyiakannya. Semua itu kulakukan karena aku tidak ingin menyakiti perasaan Pradana yaitu orang yang sedang dekat denganku yang dikenalkan oleh Evita, teman sekelasku. Entah berapa kali Pradana menyatakan cinta kepadaku dan aku menolaknya dengan alasan masih ingin jomblo. Padahal alasan asli aku menolak Pradana adalah aku tidak suka dengannya. Betapa munafiknya aku.
Lebih menyesakkan dada lagi, aku menjadi pacar Pradana untuk dua puluh hari saja tanpa rasa cinta yang kuat dari palung hatiku pada awalnya. Pradana memintaku menjadi pacarnya lima hari setelah Dedy meminta hal yang sama. Ketika aku mulai ada rasa, pergilah Pradana dengan alasan tak jelas.  Batinku memakinya. Terbayang jari tengah mengacung untuknya. Kunyanyikan lagu dari Endang Soekamti yang berjudul Semoga Kau di Neraka. Sebagai ekspresi rasa murka yang membara.
Tak ada yang tersisa, sirna sudah semuanya. Lagi-lagi kutak bisa menghubungi Dedy. Pesan singkat bisa terkirim, namun tak sekali pun ia membalasnya bahkan mempedulikan itu.  Wajahnya, senyumnya, dan warna baju favoritnya, putih, selalu tersimpan dalam memori. Bahkan tingkah galaknya saat ia cemburu tak dapat kuusir dalam ingatanku. Pertanyaan yang selalu mengusik kalbuku ialah mengapa harus menolak sesuatu yang mungkin akan membawa pada sebuah kebahagiaan.
Hanya ada satu nama, Dedy. Hampir sama dengan namaku, Dedytha. Kemungkinan waktu untuk kembali sudah tidak ada. Mesin waktu hanyalah khayalan belaka. Kunyanyikan dengan sepenuh hati potongan lirik lagu dari Avenged Sevenfold, Seize the Day.
Seize the day or die regretting the time you lost
It's empty and cold without you here,
too many people to ache over
I see my vision burn
I feel my memories fade with time
But I'm too young to worry
These streets we travel on will undergo our same lost past
…………………
A melody, a memory or just one picture
Kesempatan ketiga sedang kucari. Dedy, where are you ?

0 komentar:

Posting Komentar