Subscribe:

Sabtu, 04 Februari 2012

Warisan Sang Kapten

by : Dedytha

“Omega, minggu depan ada  pertandingan, kamu mau ikut nggak ?”
“Di mana ?”
“SMA tetangga.”
“O, ya oke lah.”
“Ya, kamu sama Syerri, ajak temenmu yang lain juga. Soalnya yang putri kekurangan personal. Sekarang kumpul di XI IPA 8, pembagian jersey”.
“Siap, Karim.” J
“Gila ya, kita kan jarang banget masuk ekstra, masa tau-tau langsung ikut pertandingan !?, sahut Syerri setengah shock.
“Gak pa pa, buat pengalaman”.
“Tapi...”
“Udah, ayo ke IPA 8 !”
Aku bersama sahabatku merjalan menuju kelas yang dikatakan Karim. Melewati plaza sekolah yang sebagian wilayahnya sebagai tempat parkir siswa-siswi yang membawa motor atau sepeda ontel. Sebelumnya ku ketuk pintu agar lebih sopan memasuki kelas itu. Aku menebar senyuman pada semua yang ada di dalam ruangan. Aku senang karena mereka menyambutku dan Syerri begitu ramah. Mataku menelusuri setiap koordinat di ruang itu. Tapi tak ku dapati si toboy, Anne.
Tak sampai jarum jam panjang memutar separuh, anak-anak basket putra memasuki ruang yang cukup nyaman ini. Karim yang bertubuh tinggi besar dan berkulit eksotik melangkah menemui meja guru. Ia membawa sesuatu yang dibungkus tas kresek hitam besar. Karim mulai membuka ikatannya. Dan kami berlari. Berhamburan bak lalat yang mencintai mangga segar. Kami telah menunggunya, untuk mendapatkan nomor yang harus kami miliki. Meja guru begitu berantakan, beruntung sekali tak ada vas bunga
di situ. Mungkin nasibnya tak seperti yang diinginkan. Bergelar almarhum. Bunganya jadi tak berumah. Miris.
Sulit, memang. Dengan menghalalkan segala cara, aku berhasil menggapai nomor sepuluh. Mengingat suara saling sahut dan tidak cempreng dari tim basket putri sekolah kami. Jersey berwarna kombinasi putih, hitam, dan hijau bergelimpangan laksana ampyang yang siap dimakan. Fantastik. Aku memilih nomor sepuluh karena aku sukan dengan gelandang tengah Real Madrid, Mesut Ozil dan kapten Arsenal, Robin van Persie.
Sama sekali tak menyangka kalau kostum ini sebelumnya milik Kak Redy. Wow... legenda hidup basket sekolah ini pujaan gadis-gadis. Tapi apa mungkin kalau aku yang memakainya akan banyak lelaki yang tak henti memandangku ? Hahaa, tahayul.
***
Latihan pertamaku, hanya bertiga. Aku, Syerri, dan Anne. Si orange bulat bergaris hitam jatuh ke pelukan kami bertiga secara bergantian. Terbanting pada si abu-abu keras yang kami pijak bertekstur segi enam. Membentur si kotak tempat bersemayamnya cincin besar di atas. Tapi sesekali ia melata secara pesakitaan atas pasir.
Tubuhnya yang semula orange mulus muncul bisul. Mungkin ia menunjukkan bagi anak-anak ekstra basket bagaimana pengabdiannya selama ini. Bila si orange punya mulut, ia akan mengatakan “Mungkin aku sudah tua, tak diinginkan lagi. Tapi aku setia pada kalian yang bersamaku hampir setiap sore. Maaf, aku begini dengan segala kekurangan yang mendekapku”.
Hujan setitik demi setitik hadir. Mengesalkan, tapi sebuah anugerah. Dengan sedikit aroma asamnya air hujan, kami bertiga tak kunjung menyerah. Kami menantang gerimis. Sama sekali tidak takut akan pusing kepala, flu, dan semacamnya.
Cukup lama juga kami memainkan bola tua di atas si abu-abu bertekstur segi enam. Kami mendaratkan tubuh di bawah tiang bendera yang diatasnya berkibar Sang Merah Putih. Tiga anak di sini bercerita entah sampai mana. Timur, barat, utara, atau selatan ?
Ah, langit perlahan berganti warna. Gradasi yang semula biru putih berganti orange ungu. Adzan Maghrib pasti menggema sesaat kemudian. Tanda bagi semua umat Islam untuk melaksanakan kewajibannya.
***
Anak-anak basket putri dalang ketika menjalani gladi resik, kecuali Oxcel dan Dini. Sepertinya kesehatan merekan terganggu. Bercucuran asinnya keringat. Deras. Bersama kakak pelatih berwajah oriental, Kak Dody, yang juga alumni SMA ini.
Strategi, dengan segala niat kami berenam mempelajarinya. Deffend dan offend, sebenarnya tidak terlalu sulit, tapi dosa besar bila kami lengah. Fatal, harus mengejar poin lagi. Hal yang berat, tapi tetap profesional, aku dimainkan sebagai guard, padahal biasanya aku sebagai forward. Hmm... tak mengapa karena sejatinya tak jauh beda. Aku akan mengangkat tangan apabila sebagai center, karena itu posisi vital dan perlu akurasi ekstra, serta posturku tidak mendukung.
Hari yang indah bersama anak-anak basket dan kakak pelatih. Tak lupa anak-anak basket putra di separuh lapangan. Karena sekolah ini hanya mempunyai satu lapangan basket, jadi mesti berbagi demi mewujudkan solidaritas.
***
Kami menginjakkan kaki di SMA tetangga. Suatu kehormatan diundang tampil dalam laga persahabatan. Pidato dari kepala sekolah mereka meresmikan pembukaan laga ini. Entah ada aroma apa, aku begitu tenang. Walaupun ketika itu aku berada paling depan. Flash dari kamera tak memiliki pengaruh, karena takhluk oleh cahaya Sang Surya.
***
Pertandingan begitu sengit. Poin demi poin meluncur untuk mereka. Memperawani ring basket tim kami. Meskipun begitu Tea memperkecil jarak skor sementara. Tapi sial, entah kami yang malas latihan atau tim SMA tetangga yang hebat. Sedangkan tim basket putra, menjadi raja. Putra basket dari SMA kami berlari di atas angin. Ya, tentu saja, hampir setiap sore, Karim cs menjadi penghuni di lapangan basket milik SMA kami tercinta.
“Besok yang di cari bukan kemenangan, tapi pengalaman”, terbesit samar-samar kata Kak Dody di benak ini. Sedikit menghiburku. Mengurangi mendung di hati.
Menit demi menit berlalu. Kacewa, pasti. Keringat panas dan dada yang sesak memaksa organ respirasi bekerja maksimal. Gelas demi gelas air mineral kami habiskan.
“Kok badanmu kaku ? Kamu kalau lari lepas aja, nikmati aja permainannya”, lagi-lagi kata kata kak Dody terbesit. Motivasi yang sedikit demi sedikit direngkuh dengan permainan. Kaku, jelas saja, aku jarang berlatih karena tuntutan orang tuaku untuk les. Orang tuaku pernah bilang terserah mau les kemana, biayanya berapa pun ditanggung mereka. Hah, kata-kata yang sebenarnya kurang kusukai, karena menyita waktuku. Aku ingin mengeksprasikan diri dengan si bulat berkulit orange.
Harus kami akui, mereka lebih unggul. Tapi kami cukup senang karena tim basket putra sebagai juara. Indra pun menjadi pemain terbaik, yang memakai kostum sepuluh juga. Siswa kelas sepuluh yang sering membuat cewek-cewek histeris. Aku tidak ikut histeris lho !
***
Aku terus merasakan tekanan semenjak itu. Pantaskah aku memakai jersey warisan Sang Kapten legendaris, Kak Redy. Dia begitu lincah membawa si kulit bundar mengancam ring lawan. Mengacak-acak skor lawan.
Bandingkan denganku, yang seperti ini. Aku lebih banyak sebagai pengisi bangku kosong di sebelah Kak Dody dan official. Menyakitkan, tapi aku pantas di sini. Pupus.
Sekarang aku sedang berusaha keras membuktikan, bahwa tubuhku pantas terbalut warisan Sang Kapten. Agar tekanan batinku tak menusuk semakin dalam. Hatiku pun tak semakin mengecil.
Teman-teman, Kak Dody, dan semuanya, aku minta maaf kalau permainanku mengecewakan. Tak ada manusia yang tak ingin punya sisi perfectionis. Beri aku kesempatan untuk membuktikan semuanya. Demi warisan Sang Kapten.
Kutuangkan semua isi hatiku tentang aku, basket, dan arti di setiap peristiwa dalam sebuah sastra sederhana.

0 komentar:

Posting Komentar