Di sebuah kota kecil yang penuh pegunungan, hidup sepasang suami istri. Usia mereka sudah tidak muda lagi. Sebut saja tua. Tetapi mereka tetap berbahagia tinggal di rumah sederhana mereka. Rumah bercat kuning dengan tiga tingkat serta seluas 700 m². Maklum, anak mereka sudah menikah dan tinggal bersama suaminya.
Setiap pagi Nenek Aulia selalu membuatkan secangkir teh hijau untuk Kakek Rozzaaq. Alasannya agar kakek Rozzaaq terlihat lebih muda dari usianya saat ini. Tetapi tidak untuk pagi ini. Nenek Aulia menangis sejadi-jadinya. Memandang tubuh Kakek Rozzaaq yang tergeletak di lantai. Tak ada satu goresan pun, namun tak cukup menenangkan hati nenek Aulia. Ketika mengetahui bahwa jantung suami tercintanya itu tak berdetak lagi.
Air matanya terjun ke pipinya, hingga membasahi tongkat yang terbujur kaku di samping Kakek Rozzaaq. Tongkat itu menjadi saksi bisu atas kematian misterius Kakek Rozzaaq. Pergi ke suatu alam yang kelak semua manusia akan ke sana. Nenek Aulia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan menikah lagi. Ia berniat akan menjaga kesucian cinta mereka. Karena selama bersama Kakek Rozzaaq, Nenek Aulia tak pernah merasa tersakiti.
Berbeda dengan Ardhi. Ia tertawa akan semua itu. Yang Ardhi pikirkan hanyalah warisan, warisan, dan warisan. Ardhi sudah memprediksi sebelumnya, bahwa perusahaan Rozzaaq tidak akan jatuh ke tangan Nenek Aulia, karena sudah terlalu tua untuk menjadi pengelola utama perusahaan. Tidak mungkin pula pada Dedytha,
anak Kakek Rozzaaq sendiri, karena Dedytha terlalu sibuk dengan urusan konser keliling dunia. Belum lama ini, Dedytha sempat berduet dengan Lady Gagal dan sebulan lagi akan syuting video klip kolaborasinya dengan My Chemical Roman** (ganti ** dengan to).Sebelum pergi jauh, Kakek Rozzaaq telah membuat sebuah surat wasiat beserta videonya. Yang isinya tentang harta warisan yang berupa perusahaan Rozzaaq Group. Benar ! Perusahaan itu jatuh ke tangan Ardhi, dengan alasan yang tepat pula.
“Aulia, Dedytha, dan Ardhi... Kalau kalian melihat video ini, berarti aku sudah pergi *uhuk*. Harapan pertamaku adalah kalian hidup bahagia. Dedytha, Ardhi, jaga Aulia baik-baik ya *ihik*. Dan untuk harta warisannya.......... bla bla bla *ohok*”
***
“Papa, anak kita sudah lahir.”
“Apa ? Anak kita ?”
“Ya, ini anak pertama kita, pa.”
“Tidak ! Mana mungkin dia anakku.”
Lima tahun kemudian, anak Dedytha yang tidak diakui Ardhi ayah biologisnya itu tumbuh menjadi gadis yang secara terpaksa dibilang imut. Wajahnya ceria, tetapi menjadi pemurung sejak ia tahu apa arti keluarga. Marlina Ulin Setiawan selalu meridukan pelukan Ardhi Setiawan, sang ayah. Yang hingga saat ini belum ia dapatkan.
Kesedihannya ditambah lagi ketika mengetahui ibunda tercintanya selingkuh dengan lelaki lain. Seorang pria yang Dedytha anggap cerdas dan berprofesi sebagai pengusaha. Sebut saja Bonaventura Indrawan.
Dunia terasa tak adil bagi Ulin. Merasakan sakit hati yang amat dalam akibat tindakan ayah dan ibunya itu. Bergoncang menjatuhkan bebatuan, terbelah menampakkan perut bumi.
“Andai ada parang di sini, akan ku pasang kepalaku di hadapan semua orang”, gumam ulin meladeni depresinya.
Arrghhh !!! Semua tak ada gunanya. Mau Ulin menjerit di atas ranting rapuh, mengikuti goyangan khas rumput senja hari, atau rela terlidas salju tanpa jaket dan topi hangat. Psikopat !
***
Di belakang pintu dapur, Ulin menguping pembicaraan ayah dan ibunya. Sontak membuat Ulin kaget, sekaget kagetnya. Bagaimana tidak, Dedytha meminta izin pada Ardhi tentang suatu hal yang memungkinkan Ulin kekurangan kasih sayang.
“Boleh nggak aku nikah lagi ?”
“Hah !! Sama siapa ?”
“Bonaventura.”
“Hmm, ya ya ya.”
“Boleh aja, nggak masalah.”
***
Ijab khobul diketuai oleh Bapak Beril dan wakilnya Bapak Otniel. Sah ? SAH !!!
Dilanjutkan oleh resepsi pernikahan yang super mewah dan megah. Pengantin, keluarga, dan para tamu terlihat mempesona siang itu. Namun Ulin masih bersembunyi di balik senyum palsunya. Mengucapkan selamat pada ibunda tercintanya dengan entah uraian air mata haru atau malah uraian ai mata kesedihan.
Dedytha memeluk anak semata wayangnya itu erat-erat. Sambil membisikkan sebuah kalimat syahdu “Tenang, nak. Ibu akan selalu menyayangimu.”
Setahun kemudian, pasangan itu memiliki anak bernama Ulya Hanifah Indrawan. Mereka sangat berbahagia. Bona sangat menyayangi anak dan istrinya. Ulya tumbuh sebagai anak yang penurut dan baik hati. Ia selalu menuruti nasehat orang tuanya, mulai dari les balet hingga mengikuti KIR DIMENSI.
Suatu hari, Dedytha dan Bona sepakat untuk memiliki anak angkat. Tidak jelas apa alasannya hingga mereka berdua menginginkan seorang anak angkat. Dedytha dan Bona masuk ke garasi, di mana biasanya Ulya utak atik motornya. Mereka menggandeng seorang lelaki eksotik yang wajahnya asing bagi Ulya.
“Ulya anakku tersayang”
“Ada apa, Pa ?”
“Sini dong, kenalan dulu”, Dedytha menyahut.
“Namanya Pratama Wisnu, mulai sekarang dia akan menjadi adik angkat kamu, sayang.”
“What !”
Dedytha membuka gorden kamar Ulya. Pandangan Ulya samar-samar tapi mulai membaik. Namun kepalanya masih pusing. Dia terdiam sejenak. Yang di pandangi hanya ayah dan ibunya. Dedytha bergegas memberi segelas air putih pada anaknya.
“Lelaki itu...”
“Iya, nak”, Bona memandangi Ulya dengan senyuman hangat.
“Oh ayah, ibu... syukurlah kalau tadi aku cuma mimpi.”
“Kakak...”
Terdengar suara lelaki yang kedengarannya lebih muda dari Ulya, memanggilnya dengan sebutan kakak. “Tidak mungkin !”, desir Ulya dalam hati.
“Pergi kamu !”
“Ulya ! Jangan gitu, dia adikmu”.
“Tidak, ma ! Aku mau jadi anak tunggal !”
“Ulya !”, Bona sedikit membentak anaknya itu.
Ulya termangu, menangis meratapi keadaan. Buntu sudah jalan pikiran Ulya dalam memikirkan alasan mengapa mereka ingin memiliki seorang anak angkat. Tak pernah terlintas di benak maupun Ulya tentang hal itu. Sejatinya, Ulya ingin menjadi anak tunggal saja.
Kesedihan yang jauh juga dirasakan Wisnu. Air matanya tumpah membasahi pipinya. Sesungguhnya Wisnu ingin mencintai Ulya seperti kakak sendiri, tetapi hatinya mungkin sedang teririsakan sikap Ulya tadi.
Bona mendekati Wisnu, mengelus kepalanya. Sebagai tanda tak berjejak tentang sebuah kasih sayang.
“Wisnu anakku, suatu saat pasti Ulya akan menerimamu sebagai saudara”.
***
Delapan tahun kemudian...
Ulin dan Ulya mencintai seorang lelaki yang sama. Mereka rela berbagi cinta. Demi cinta penuh ambisi, mereka mau memberikan sepenuh hati dan hanya mendapatkan cinta separuh hati.
Menyakitkan bukan ?
Hingga hari bahagia pun tiba. Ulin dilamar dan resmi menjadi istrinya. Dan sekali lagi dijelaskan, demi cinta penuh ambisi. Ulya juga dinikahi si lelaki.
Mereka berbagi suami. Senangnya dalam hati kalau beristri dua, seperti dunia ane yang punya. Itu kah yang dipikirkan suami mereka ?
Ulya memiliki dua anak dari si lelaki, bernama Nivia Juwita dan Wahyu Setyawan. Begitu pula Ulin memiliki dua anak, atau sepasang anak kembar ! Mereka bernama Alfian Fajar dan Rena Laila. Mereka berempat imut-imut dan lucu-lucu.
Apalagi ketika lebaran tiba, mereka berlari menuju neneknya, Dedytha. Tidak lupa kakeknya, Ardhi atau Bona. Senyuman kebahagiaan terpancar dari wajah keluarga ini.
Meski penuh dengan poliandri dan poligami, keluarga besar ini hidup bahagia. Saling menyayangi satu sama lain. Begitu pula dengan Wisnu, yang perlahan-lahan seiring laju waktu diterima sebagai adik oleh Ulya. Tetapi sayang, Ardhi belum bisa menerima Ulin sebagai anaknya, walau pun ia meneria Alfian dan Rena sebagai cucunya. Ulin yang teraniaya...
***
Hingga suatu ketika, Nenek Aulia berniat merapikan baju-baju almarhum suaminya. Tanpa sengaja sebuah buku kecil yang terselip diantara kemeja Kakek Rozzaaq terhempas dilantai. Rupanya itu adalah buku harian Kakek Rozzaaq. Nenek Aulia tak pernah memergoki Kakek Rozzaaq menulis di buku harian walau hanya sekali.
Lembar demi lembar ia baca dengan sepenuh hati. Tetapi ada sesuatu yang membuat sebuah halaman lebih cepat terbuka. Rupanya itu sebuah foto. Nenek Aulia nyaris pingsan. Di foto itu ada keterangan “Abdul Rozzaaq dan Farrika”.
Cerpen ini hanya hiburan semata, fiktif belaka,tidak ada serius-seriusnya. Apabila ada kesamaan nama dan tokoh harap maklum ^.^
Semoga aja aslinya ga kaya gitu :P
BalasHapus