“Alejandro...
¿Dónde estas tu ?”
Gambar amplop dan tanda panah ke kanan segera menghilang dari layar i-phone Helga. Hujan semakin merapat. Samar-samar apa yang Helga lihat. Kaktus tajam di teras mungkin akan memuntahkan air apabila ia meminum seper berapa ribu air hujan.
Alejandro, pekat di hati Helga. Sekarang panas tanpa sebab sengatan matahari sang pusat tata surya. Tetapi karena Alejandro, matahari di hatinya yang mulai melangkah ke barat. Tabu akan kata yang ia ucapkan dulu.
10 x 24 jam gambar amplop di i-phone Helga tidak muncul dari seberang terlebih dahulu.
***
Real Madrid versus Barcelona di Santiago Bernabeu. Stadion termegah sepanjang masa yang dimiliki Real Madrid penuh bagai lautan manusia. Gemerlap lampu di rumah Los Blancos memberi pencerahan ke setiap sudut.
Para punggawa berjalan dengan tegap menyusuri pertengahan si hijau. Disusul dengan tamunya merah biru dari Catalunya. Applause untuk mereka,bukan hanya applause tetapi suara drum yang sengaja di ajak untuk dibunyikan di situ. Bising untuk semangat. Real Madrid telah siap menerkam rival abadinya bermodalkan intelektual dan para galactico.
Tidak dirubah dari hari biasanya, di depan layar televisi bersama bayangan. I-phone putih bernyanyi ditambah frekuensi kecil getaran. Sebuah pesan sangat singkat hadir. Menyapa saja, ‘hai’. Dua belas angka yang berderet tanpa keterangan sang tuan. Helga menekan i-phone-nya sesuai kata-kata yang ia inginkan untuk membalas budi atas sebuah sapaan. Tanpa basa-basi, tombol hijau ia klik. Pergi sudah pesannya. Menyeberangi satelit, meluncur dengan energi sinyal, atau bertabrakan beradu kekuatan dengan amplop imjinasi lain.
“Siapa ?”
“Alejandro. Madridista, what do you think about this match ?”
“So wonderful, I feel El Real will be the winner.”
“Hahaa, maybe yes maybe no. But Barcelona will destroy Santiago Bernabeu.”
“Impossible.”
Malam yang nyaris menjelajahi penghujung hari. Jangkrik bernyanyi, melantunkan nada-nada khas yang hanya sejumput manusia yang bisa menirukannya. Dari dua sudut pandang. Di mata Helga dan Alejandro. Dalam cuaca yang relatif sama dan iklim yang pasti sama. Udara dingin lewat di balik dinding bata tebal yang dilapisi semen juga ditegakkan besi kekar.
*
Rabu. Apakah itu hari keserasian ?
Tisu putih tanpa kuman, tergeletak di atas meja Helga. Meja coklat kayu tak berukir yang tepat berhadapan dengan meja guru, menjadi sandaran alat tulis dan tangannya ketika ia hendak belajar. Hitamkan sedikit bagian tisu itu. Tentu saja dengan makna tertentu. Bukan hanya goresan seperti yang diciptakan bayi ketika mencoret-coret tembok. H-ELGA.
“Helga ! Habis outbond pikirannya pada rancau”, menyeret tisu kubertuliskan H-ELGA
serta tanda hati di belakang “-“ di luar ELGA .
serta tanda hati di belakang “-“ di luar ELGA .
“Haduh, jangan Pak. Cuma orek-orekan”.
Diamankan tisu Helga di tangan beliau, Mr. Jacob. Cat ungu pelapis dinding bagian belakang kelas seperti ingin melukis graviti “SOS”, diikuti pula cat kuning rasanya ingin luntur membasahi seisi kelas. Ya, kelasku bercat kombinasi kuning-ungu.
“O, Helga love Elga.”
“Nggak Pak, Cuma orek-orekan.”
“Eaaaa !!!”, riuh seisi kelas, melihat tisu Helga yang bergraviti sederhana. Semua mata dengan sudut yang berbeda terarah pada Helga. Tatapan konyol.
“Ga, tenanan ra koe ?”
“Hehee”.
“Weh, tenanan lho, koe kaya ora serius ngono ?”
Suara Henry si cowok semi Chinese menginterograsi. Bak teroris di medan pemukiman elit. Di tempat itu juga ada Alejandro, yang notabene teman sekelas Helga. Tidak tahu apa yang akan Helga katakan, bahkan yang ia rasakan. Bertanya pada diri sendiri. Belahan bumi utara dan selatan berbeda, tetapi memiliki sejuta pinang dibelah dua. Alejandro dan Elga. Setara di hati Helga.
*
Lomba puisi tidak kurang dari dua puluh empat jam. Angka-angka di jam dinding berteriak, tik... tik... tik... cukup keras untuk kelelawar. Dua lembar kertas, puisi wajib di tangan kiri dan puisi karya sendiri di tangan kanan.
Alejandro. Entah ia hanya bercanda atau berjanji. Sebuah kalimat yang hadir di I-phone Helga. Setelah kemunculan gambar ampop dan anak panah turun yang kemudian siap dibaca.
Kalo kamu menang aku tembak lho... hehehe
Apa itu ? Setengah shock.
Tidak mengharap trofi atau uang, tetapi.... Alejandro ? Ini gila. Benarkah Alejandro berani menggapai Helga untuk menjadi kekasihnya. Selama ini kabar miring tentang cinta dari Alejandro belum pernah terpublikasikan. Bahkan teman-teman SMP-nya kosong tentang cowok super kalem itu.
*
Kau yang terindah..
“Huhuu, genit !”
“Kok belum tidur ?”
“Belum nih, insom. Lha kamu ?”
“Belum juga, Abbey. Hehee J”
Dinding facebook Alejandro adalah bencana besar. Sederhana saja, kau yang terindah. Bukan statusnya, tapi timbal balik komentar antara Abbey dan Alejandro. Pergantian matahari menjadi bintang atau bintang menjadi matahari selalu saja ada komentar dari si sexy Abbey di facebook Alejandro. Demikian dengan pergantian letak awan, jempol Alejandro selalu bertebaran di status Abbey tanpa tertinggal satu pun, jempol yang up to date. Hmm...
“Sexy ? Gue nggak kalah sexy sama Abbey, cuma kalah tinggi dikit aja. Lagian jelas-jelas padet gue kok !”
Entah apa maksud cewek genit macam Abbey bisa lumayan dekat dengan Alejandro. Samurai di tangan Helga, seperti. Emosi. Marah tak jelas, umpatan tak jelas. Sejak kapan Alejandro dan Abbey dekat ? Di kelas biasa saja, tak ada bunga mawar dalam pertemanan mereka.
Sifat Helga yang sulit menahan samurai hati, terang-terangan saja ia melabrak Alejandro ketika berkencan melihat futsal acara ulang tahun sekolah. Pesona lelaki keturunan Spanyol itu sulit dihindari. Waktu SMP dia menjadi idola cewek-cewek. Atau beberapa orang iseng memanggil namanya hanya untuk melihat ketampanannya.
***
Kelam dan suram. Rabu yang tak bersahabat. Semakin diperkuat rasa cinta yang terus berkarat. Di juru kunci September, air mata muncul sedikit demi sedikit ketika berbagi dengan Henry dan Fedric. Tentang rasa, tentang Alejandro.
Henry yang memdekatkan Helga dengan Alejandro, hingga mereka menjadi angsa putih di danau jernih. Dan Fedric yang merupakan saksi kunci kronologis di ujung tanduk cinta ini.
Helga tak membiarkan mereka pergi. Takut. Antara ingin barpisah atau memperbaiki hubungan dengan Alejandro. Henry dan Fedric benar-benar memahami bagaimana gelombang jalan yang dilalui Helga.
*
Daun Muntingia calabura terhempas angin siang. Bergesekan satu sama lain, berdecit suaranya. Meski tertancap di ranting dengan kuat, tetap saja tak bisa tegak. Melenggak-lenggok sesuai irama. Yang sudah tua berguguran, mayoritas kuning namun lama-lama coklat juga.
Di bawah itu, kursi panjang di depan Helga menjadi persinggahan singkat cerita.
“Alejandro, maaf mungkin selama ini aku udah ganggu hidup kamu.”
“Nggak lah. Emang kenapa kok ngomong gitu ?”
“Nggak tau juga. Tapi.... tengo que ir.”
0 komentar:
Posting Komentar