“Tan, jangan lupa besok seleksi dance di V B.”
“Oke. Bukannya semua grup dance tampil ?”
“Kalo pesertanya dikit ya tampil semua.”
“O. Jam berapa ?”
“Belum pasti waktunya, besok menyesuaikan aja. Paling sekitar jam 8.”
“Hmm, thanx ya.”
Di bawah kejamnya mentari yang kontroversial karena pigmen, Titi melayangkan kabar seleksi dance untuk acara perpisahan kelas VI. Aku diberi tahu kabar itu ketika melintasi pertengahan diagonal tak simetris lapangan upacara sekolah. Mungkin pada titik koordrinat (2,-1). Akan relatif lebih jauh apabila melintasi pinggiran lapangan upacara. Sederhana saja, seperti rumus matematika phytagoras c = , sisi miring lebih mempersingkat waktu daripada jalan L. Aneh, mengapa ia tak memberi informasi di kelas saja. Faktanya Titi satu kelas denganku, IV B. Mungkin daya ingat di dalam kelas dan di luar kelas berbeda.
*
Dalam eksentrika alunan musik hip hop aku, Rani, Rinda, Fira, Gita, dan Putri akan berlatih keras untuk kelancaran besok. Mengulangi langgak-lenggok tubuh kami kemarin. Cukup menyenangkan suasana teras rumah Putri yang seperti surga fauna kecil di antara flora hijau. Sesekali kami duduk berbincang secara lesehan di lantai putih memiliki efek seperti petir sambil menyeruput limun cocopandan merah dingin yang memberi kesejukan tenggorokan. Ini bulan Juni, tentu saja kami berani minum limun dingin, karena tak sedikitpun air hujan menetes di musim kemarau.
Masih tentang dance, lompat sana lompat sini. Tangan harus begini atau begitu. Namanya juga dance, ekspresi dan kreasi sangat penting. Setelah itu tinggal menunggu hasilnya yang berupa apresiasi dari beberapa pihak. Tepuk tangan menjadi hadiah paling sederhana pada sebuah pementasan.
*
Aku duduk di bangku bersama teman satu grup dance. Berebut oksigen, mungkin secara ilmiah seperti itu. Suasana begitu penuh sesak oleh 60an pasang mata, yang sejatinya ruangan itu hanya berkapasitas 40 orang. Tapi tak seorang pun mengeluh, enjoy dengan suasana sekarang dengan hiburan dance, menyanyi, dan sebagainya.
Sebagian anak laki-laki di belakang menaikkan kursi di atas meja agar dapat melihat jelas seleksi untuk perpisahan. Aneh-aneh saja tingkah mereka. Tiga orang itu adik kelasku
yang kebetulan aku tau nama mereka. Kubiarkan saja Ikram, Handy, dan Rosyad. Ini saat-saat bebas.
yang kebetulan aku tau nama mereka. Kubiarkan saja Ikram, Handy, dan Rosyad. Ini saat-saat bebas.
Wajahku sedang menghadap peserta dance dari grup lain. Gerakan yang bagus, skill yang cukup mengagumkan untuk ukuran anak-anak SD. Tapi ada makhluk apa yang membisikkan sesuatu pada benakku agar menoleh lagi ke belakang, kepada mereka bertiga. Tetapi fokus pandanganku ada di Rosyad. Entah mengapa, ingin meng-zoom pandanganku hingga kudapat melihat setiap sisi tekstur wajahnya. Ah, apa ini ? Aku masih pada tahap sekolah dasar. Harusnya biasa saja, tidak boleh ada perasaan bak remaja.
***
Tahun demi tahun terus berganti. Begitu juga dengan seragamku, putih merah menjadi putih biru. Mungkin tampilanku sedikit lebih dewasa, karena rok mini merah yang berpeluang naik mengikuti jejak angin diganti dengan rok biru tua 5 cm di bawah lutut yang menyesuaikan bentuk tubuh sehingga terkesan lebih anggun. Nuansa baru di sekolah baru, aura unik yang tak kudapatkan di SD.
Pemandangan sejuk tentang berbagai macam pria, sedikit memburamkan wajah imut Rosyad. Belum hitam putih, hanya warnanya saja menjadi lain dan mengurangi kejelasan detail-detail cinta untuknya. Ini bukan pengeditan hati semata, tetapi editor alami dari benda merah gelap itu.
Ah, semakin tenggelam raut wajahnya. Aura pesona lain semakin nampak di sekolah ini. Dari yang berkulit putih sampai hitam, yang berambut keriting sampai berdiri bak murid-murid ketika upacara bendera, atau dari yang motivator sampai aligator. Lho, yang terakhir nggak nyambung ya ?
*
Bangsal tak pernah sepi penghuni. Ruang berpenutup atas bawah itu jalur persimpangan beberapa kelas. Tak luput pula lantunan Tembang Jawi yang setia menemani anak-anak kelas VII yang sedang mendapat pelajaran tari. Terbang pikiranku ketika senasib dengan mereka, batapa kakunya tubuhku yang tak terlatih menari tradisional. Bersyukur karena di kelas VIII ini menggambar adalah pelajaran seninya. Lumayan, goresan-goresan crayon yang bergesekkan dengan kertas gambarku tak terlalu hambar untuk dipandang, begitu pula dengan usapan cat air yang menggeliat manja masih senada dengan apa kata hati.
Siang yang tak terlalu syahdu. Mercy, temanku sekelas sedang duduk santai di atas tembok 90 cm di pinggir bangsal. Siapa yang sedang di sampingnya ? Telapak tangan sudah mulai mendingin ketika Rosyad lah yang di sana. Kuhampiri mereka, selangkah demi selangkah yang menutupi getaran. Modus licik dapat datang tiba-tiba. Tanpa pandang waktu, tempat, dan suasana. Kuajak Mercy bicara, yang tentu saja masih Rosyad ada di sampingnya meski aku sok cuek kepada Rosyad karena secara eksternal sama sekali tidak menggubrisnya.
“Sombong...”, sekilas kudengar suara beratnya menyapaku penuh godaan.
“Apa sih ? Nggak lho, di sini saya begitu ramah menyapa anda. Hahaa”, gaya formal semi cool meluncur refleks dari mulutku.
Satu sendok teh saja kalimat yang saling kami adu. Tetapi telah menyihir kopi pahit untuk sedikit lebih manis. Aku lupa, itu perbincangan pertamaku dengan Rosyad atau bukan. Selama SD sepertinya kami belum pernah saling sapa, di SMP pun aku harus menunggu satu tahun untuk melihatnya. Dengan perjudian halal, dia masuk SMP yang sama dan ternyata itu terjadi.
Suara cempreng bel tanda berpisah dengan istirahat berbunyi. Mengkontaminasi telinga sebenarnya. Harus kubalikkan badanku demi menaiki bangga di sebalah bangsal, begitu juga dengan Rosyad wajib menuju ke penyiku lapangan yang memiliki arti tersirat bahwa itu kelasnya.
*
Mercy. Kalau kau benar lelaki, kenapa tega membuka pintu rahasia ? Akhirnya Rosyad paham akan semuanya. Kini ia mulai menjauh, terbang tinggi tanpa sayap ke dunianya yang aku bilang setengah buta arti cinta. Di sini aku, Tania, bukan selebriti dengan segala pengacara akan kasus dan kisah cintanya menjadi makanan publik. Sudah berapa pasang telinga yang tahu tentang ini ? Jari-jari yang kumiliki keberatan untuk menolong sang majikan. Sadarlah akan mulutmu yang kelak akan menjadi boomerang.
Gita. Selama ini aku menganggapmu menjadi sahabat terdekatku. Seperti saudara aku menyayangimu. Apa ini timbal balik darimu ? Di depan sekolah tempat kita biasa jajan, kau teriakkan perasaan ini pada Rosyad. Diawali prolog memanggil namanya sampai ia menoleh ke arah kita. Sikapnya berangsur samar-samar menghadapiku. Berlari dengan sudut panjang jauh berbeda. Begitu semu untuk menggapai hatinya. Aku paham, dia emosi kepadaku. Di selasar sisa asa, tersimpan doa tulus, agar Rosyad tahu bagaimana ada di posisiku saat ini. Bukan syahdu, hanya pilu.
Rosyad. Ini bukan nasi yang telah menjadi bubur ayam. Bisakah kau bertelepati denganku ?
*
Trofi dari berbagai kejuaraan badminton telah ia dekap. Kayuhan raketnya, entah berapa kilometer per jam. Ditengah kaitan benang tebal kotak-kotak, bulu angsa melingkar di atas bantalan empuk. Ia akan terlempar, jauh ke daerah pertahanan lawan. Sesekali musuh lapangannya membalas dengan hal yang sama. Tangan kekarnya begitu kencang menggenggam tangan raket. Mengapa bukan tanganku ?
Informasi besar yang kudapat dari Tian, teman sekelasku yang rupanya ia juga sering mengikuti kompetisi badminton. Imajinasiku berlari kencang, siluetnya di benakku sedang memainkan olahraga favoritnya. Melompat menggapai si bulu angsa atau nyaris terjatuh demi melindungi kotak pertahanan. Bisa pula lukisan garis-garis tajam wajahnya disertai senyum mengembang di bawah trofi yang diangkatnya tinggi-tinggi.
***
Kucari barisan nama-nama dalam kolom transparan bergaris hitam di belakang gerbang utama. Nama, asal sekolah, dan apapun itu. Scanning menjadi teknik membaca yang kuandalkan. Mana namanya ? Rosyad, Rosyad, Rosyad. Satu menit belum berlalu, jari telunjukku telah berhenti. Dia ada. Dia di sini ! Bukan sejenak saja aliran darahku dipercepat. Senyum bahagia dari bibirku, pasti dia menjadi adik kelasku lagi.
Tidak ! Lembaran daftar peserta kemah wisata yang tergeletak di meja guru ada di tanganku. Namanya tak tertulis lagi dengan tinta hitam. Kertas buram yang kuanggap tak bermodal tanpa nama Rosyad di sana. Rontok sudah harapan bertemu dengannya setiap hari. Mungkin ketika berangkat, pulang, jam istirahat satu dua bahkan jam olahraga.
Apa nilainya kurang ? Atau ia mencabut pendaftaran di sekolah ini ? Kurasa mustahil apabila nilainya kurang dari yang disyaratkan. Dapat dilihat dari tatapan matanya yang memancarkan sinar positif, Rosyad anak yang cerdas. Kudengar ia sedikit trouble maker, tapi kusimpulkan saja itu sebagian dari tajam otaknya. Sulit dipercaya juga kalau ia mencabut pendaftaran dari SMA favorit di kota ini.
Rosyad, mungkinkah selama tiga tahun aku tak dapat melihatmu ?
*
Di terminal yang jauh dari kata syahdu, manusia-manusia yang menanti kendaraan umum bertarung dengan mentari. Sekelebat bayangan nyata lelaki yang kutunggu dalam hati tiba-tiba muncul. Bersama motornya ia berkelana tidak jelas ke mana. Cerita dari temanku, bahwa Rosyad tinggal di sekitar situ. Tapi aku tak paham pasti yang mana rumahnya. Masih ambigu selama bertahun-tahun dan bertahan di semak keambiguan ini.
Kau, senyummu, suaramu, caramu berjalan, kulit putih langsatmu, dan badminton itu satu. Aku seperti berjalan santai di belakang bayanganku sendiri yang jelas kupijak pangkalnya, tetapi tak bisa kupeluk.
***
Siluet Semi Abadi
Dari sudut pandang dalam ruang
Ada siluet di seberang
Yang tak pernah hilang
Tapi tak pernah datang
Hidung mancung menghirup melati
Mata tajam untuk cinta merpati
Hanya aura yang kuraba
Bukan tubuhmu yang kusentuh
Siluet semi abadi
Itukah kau ?
Sejak tabu akan hati
Sampai roboh nyaris mati
Hanya namamu tersirat
Maaf bila tidak tersurat
Tapi begitu berat
Untuk lupakan ambisi yang telah berkutat
Siluet semi abadi
Selamanya mustahil kumiliki
Rahasia hati
Harus kutenggelamkan di dasar cinta
Dan ini nyata
Untukmu, Rosyad...
Kututup binderku, tampak cover bergambar Real Madrid. Kutinggalkan puisiku yang baru saja kubuat dan kuletakkan bolpen yang menari-nari dengan tanganku tadi. Puisi untuk Rosyad, hanya untuk internal sehingga tak mungkin Rosyad akan membacanya.
Kamera digital sudah di depan mata dan kuseret. Kukantongi untuk bekal nanti. Sengaja pergi dengan kamera digital hanya untuk memotret eksotika Rosyad. Suatu kesempatan yang berat untuk ditinggalkan. Mobil sedan putih yang tak kalah gengsi dari Lamborghini Gallardo sudah siap. Kustater, lingkaran itu kuarahkan sesuai tujuan. Hal baik, jalan lancar tanpa hambatan suatu apapun. Si putih kuparkirkan di area Gelanggang Olahraga.
Berjalan menyusuri bangku penonton yang kosong. Sambil membawa sepasang benda berbentuk sosis raksasa dari plastik yang mengembang karena udara, yang berguna sebagai pengganti tepuk tangan.
Itu dia ! Kedatangan di waktu yang tepat. Pertandingan langsung dimulai. Wajahnya memang fotogenik, sebenarnya secara fisik ia sangat mendukung untuk menjadi model. Tetapi badminton telah ia pilih sebagai jalan hidupnya. Sudah beberapa foto kudapatkan namun masih terasa hambar. Aku memiliki sebuah foto yang isinya aku dan Rosyad. Apa daya ? Nyaliku pergi lebih jauh dan lebih jauh tiada terkejar.
Ucapan selamat padanya dalam hati. Nihil buktinya apabila ia kuhampiri. Rasa sok cuek yang telah terbudidaya sejak dulu menghempaskan rasa cinta begitu saja. Keringat penuh arti menetes membasahi samping alisnya. Tiga set Rosyad mengalahkan sang lawan, memang kekuatan mereka dapat dikatakan sepadan. Namun hari ini adalah hari untuk Rosyad. Di balik jaring raketnya ada sesuatu yang seharusnya terkuak.
Pelukan hangat pada beberapa official ia hamburkan. Ini partai final. Medali emas terkalung di lehernya sebagai tanda prestasi putra bangsa. Buket bunga ada di tangannya beserta label nominal uang sebagai simbolis lain.
Sepertinya sudah lama pula aku tak melihat wajahnya secara langsung. Semua dampak dari kesibukanku merintis usaha beraroma listrik, berbekal sarjana elektro. Tanpa kusadari pula kini Rosyad telah menjadi pemain badminton profesional yang berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional.
Dulu aku pernah berjanji, kalau Rosyad menjadi pemain badminton profesional nanti aku akan menjadi penggemar terberatnya. Janji itu kepegang hingga detik ini. Segala tentang dia tak pernah benar-benar mati. Walaupun pernah memudar beberapa kali karena aku berpacaran dengan pria-pria pilihanku.
***
Pukul lima tiga puluh pagi tidak terlalu dingin tetapi akan lebih baik jika kuseduh kopi capuccino di ruang keluarga yang biasa untuk relaksasi. Sendirian saja, karena sekarang aku memang tinggal di sini bersama wanita paruh baya yang merupakan asisten pribadiku dan seorang satpam.
Kutekan salah satu tombol pada remot hitam legam itu. Niatku ingin menonton kartun pagi yang menceritakan persahabatan dan kekonyolan makhluk laut. Namun ada bisikan malaikat untuk menonton berita olahraga di channel lain. Aku senyum-senyum saja ketika melihat hasil el clasico semalam yang dimenangkan Real Madrid, merasa bodoh juga mengapa semalam aku tidak nonton dan malah serius dengan setrum.
Acara berita olah raga hanya tiga puluh menit, ada kurang lebih tiga menit untuk setiap cuplikannya. Salah satu dari tiga menit itu sukses membuat mataku hujan deras. Dadaku mulai sesak juga tanganku begitu kaku yang mungkin akan memecahkan cangkir seandainya tadi kopi panasku tak kuletakkan di meja.
“Pemirsa, ada kabar bahagia dari dunia badminton. Pasalnya kemarin Indrawan Rosyad melangsungkan resepsi pernikahannya di Hotel Kaisar, Solo. Yang sebelumnya telah melaksanakan janji suci di Masjid Agung. Sekitar seribu tamu undangan turut memeriahkan pesta sakral ini, termasuk beberapa atlet dari berbagai cabang dan selebritis papan atas.......”
Semoga bahagia. Biar aku tetap menjadi penggemar terberatmu. Hanya sekedar menggemari, buka memiliki. Kulihat Rosyad mengecup kening istrinya, lewat layar televisi. Dulu kuharap aku dan kau menjadi sepasang kekasih yang memiliki cinta sejati. Ternyata aku salah, aku dan kau mengalami cinta platolis, cinta fans pada idolanya. Di balik jaring raketmu, ada cinta dariku. Benar kata pepatah “cinta tak harus memiliki”.
*
“Tok tok tok..”, kuketuk pintu rumah tunanganku. Air mata sudah berhenti, namun mataku masih merah berkaca-kaca dan hidungku masih bengkak. Begitu ia membukakan pintu untukku, langsung kudekap tubuh Harris. Mimpi apa semalam, sudah satu setengah tahun menjalin kasih dengannya, baru sekarang kurasakan hangat peluknya. Aku memaklumi saja, karena pasti ada alasan bukan mukhrim. Krisan kuning di teras rumah Harris menjadi saksi atas semua pengaduanku. Tentu saja aku tidak bercerita tentang Rosyad. Harris mengajakku ke ruang tamunya yang serba biru. Kami duduk berdua. Kusandarkan kepalaku pada lengan Harris.
“Kamu kenapa ?”, suara beratnya empuk di jiwa, ia bertanya padaku bernada peduli.
“Kamu akan bersamaku selamanya, kan ?
“Tentu saja. Tapi kenapa kamu tanya begitu ?”.
“Aku takut kehilangan kamu.”
Di sampingku ada Harris, lelaki alim yang sering di sapa ustadz oleh teman-temannya. Ia setia menemaniku, tak pernah sekali pun
mengukir luka.
Maafkan aku Harris, masih ada Rosyad di benakku. Jujur saja aku tak bisa menghancurkan bayangannya. Aku tahu, mungkin dosa besar bila melirik sesuatu milik orang lain dan masih menginginkannya. Semakin berat lagi hukuman untukku bila sampai menyakitimu akibat perasaan ini.
Belasan tahun ada Rosyad di jiwaku, hingga kini umurku telah menginjak dua puluh enam. Tapi ada Harris yang akan menemaniku hingga puluhan tahun.
0 komentar:
Posting Komentar